Di era AI yang berkembang secepat ini, satu kalimat bisa menghasilkan gambar yang memukau. Cukup ketik prompt seperti “anime forest scene in Ghibli style”—dan dalam hitungan detik, layar dipenuhi visual estetik ala Studio Ghibli. Tapi di balik kekaguman itu, muncul pertanyaan penting: apakah visual yang bagus selalu cukup?
Ghibli sudah puluhan tahun dikenal dengan gambar yang menenangkan mata. Namun daya tarik utamanya bukan di situ. Film-film Ghibli menyentuh karena punya sesuatu yang sulit dijelaskan—jiwa. Cerita yang pelan, penuh keheningan, dan nuansa. Kadang tanpa banyak dialog, tapi selalu punya sesuatu yang kita bawa pulang setelahnya: rasa.
AI punya keunggulan di kecepatan. Ia bisa menghasilkan output dalam waktu sangat singkat. Tapi Ghibli adalah tentang proses. Tentang menyusun adegan demi adegan dengan perhatian dan kesabaran. Tentang mengizinkan penonton untuk berhenti sebentar, merasakan angin, mendengar jangkrik, dan ikut tenggelam dalam dunia yang dibuat dengan hati.
Style bisa ditiru. Komposisi bisa dipelajari. Tapi rasa tenang, bingung, takut, jatuh cinta—semua itu lahir dari pengalaman manusia. Dan itulah yang membedakan Ghibli. Bukan hanya visual, tapi juga kepekaan terhadap perasaan.
Bukan berarti AI tak punya tempat. Justru sebaliknya. AI adalah alat yang luar biasa. Tapi seperti yang Ghibli ajarkan—alat adalah alat. Tanpa rasa, tanpa empati, tanpa arah, ia cuma sekumpulan pixel.
AI bukan ancaman. Ia adalah peluang—asal kita siap beradaptasi. Justru kreator yang paling adaptif akan jadi yang paling kuat. Bukan dengan melawan teknologi, tapi dengan menggabungkannya dengan nilai manusia: empati, cerita, dan makna.
Konten yang hebat bukan hanya tentang cepat atau viral, tapi tentang bermakna. Dan mungkin, itu alasan kenapa kita masih mengingat Ghibli, bahkan saat layar sudah mati.
Tapi perlu di-ingat ini opini pribadi saya, tidak ada satupun menyudutkan pihak yang menggunakan AI maupun creator ghibli itu langsung.